Pages

Sabtu, 19 Mei 2012

Hobi



      Setiap hari, saya berusaha meluangkan waktu untuk menekuni hobi saya. Apa itu hobi? Saya sendiri kurang tahu bagaimana mendefinisikannya dengan baik. Tapi, paling tidak, orang sering menyebut hobi sebagai kegiatan yang digemari di luar rutinitas utama.
      Salah satu kegemaran saya adalah membuat suatu kerajinan berbahan utama kertas dan plastik. Saya menikmati belajar membuat berbagai model origami dari buku-buku dan video (video saya unduh dari Youtube). Sesekali saya berkunjung ke tempat-tempat penjualan souvenir dan pernak-pernik. Jika tertarik dengan sesuatu (apalagi jika saya sedang butuh barang semacam itu), saya akan amati seteliti mungkin bentuknya, mengira-ngira bagaimana proses pembuatannya, lalu setiba di rumah saya coba membuatnya sendiri dengan bahan-bahan seadanya. Pepatah mengatakan, tak ada rotan akar pun jadi.
      Dengan bahan yang apa adanya itu, memancing kreativitas untuk memodifikasinya ke dalam bentuk yang agak berbeda. Dibutuhkan daya imajinasi dalam proses ini supaya hasilnya nanti tetap bagus.
   Saya menganggap penting urusan hobi ini. Hobi membuat waktu kosong kita termanfaatkan. Lagipula, rutinitas utama yang kita jalani saat ini belum tentu menjamin kehidupan kita kelak. Siapa yang tahu kalau keberuntungan, takdir, nasib—atau apalah namanya itu—ternyata jatuh pada sesuatu yang selama ini kita anggap hobi. Selain itu, hobi bisa menyegarkan kembali pikiran kita setelah seharian menjalankan rutinitas yang membunuh keceriaan hidup.
      Dulu saya pernah menyesal karena mengabaikan talenta saya dibidang melukis karena sibuk menggeluti bidang yang kurang saya minati. Saat itu saya berpikir, hobi saya itu hanya menghambat tugas utama saya. Pada akhirnya tangan saya menjadi kaku akibat tidak pernah dilatih lagi. Hasilnya, kedua-duanya tidak ada yang optimal.
    So, jangan lupakan hobi sesibuk apapun dirimu dengan rutinitas utama. Segarkan rutinitasmu yang kadang menjemukan itu dengan melakukan aktivitas hobi, hobi yang bermanfaat tentunya.
Berikut contoh karya saya :
Kupu-Kupu Hinggap, dekorasi untuk seminar nasional pendidikan yang diselenggarakan Forum Studi Dinamika Islam (FSDI

Daripada kertas dan plastik bekas ini dibuang, mendingan kubuat bunga saja.


Hiasan dinding Aurora. Saya membayangkan melihat fenomena aurora di kutub yang sungguh mempesona.

Selasa, 08 Mei 2012

Suatu Pagi di Rumah Andi



          Srek, srek... Andi sedang menyapu halaman, kerisik gesekan sapunya memenuhi udara pagi yang segar. Andi sudah terbiasa bangun pagi ketika adzan subuh berkumandang dari Mushola dekat rumahnya. Lepas shalat subuh berjamaah di Mushola, biasanya ia mengaji dengan Bapak, sementara Ibu menyiapkan sarapan pagi. Setelah itu, barulah ia menyapu halaman rumah yang tak seberapa luas, namun hijau dengan pohonan dan bebungangan yang menyejukkan mata.
          Ia riang dan lincah mengayunkan sapunya, membersihkan daun-daun rontok akibat angin kencang semalam. Sambil memasukkan daun-daun yang telah terkumpul ke dalam pengki, kadang-kadang ia menyelingi dengan bernyanyi. Lagu favoritnya adalah Lihat Kebunku.
          Lihat kebun Andi. Aneka rupa bunga; melati, mawar, anggrek; warna-warni menyejukkan pandangan. Ada juga aglaonema dan pakis-pakisan yang meskipun tanpa bunga, tetap terlihat cantik dengan tampilan daunnya yang menawan. Pohon jambu di salah satu sudut halaman cocok sebagai tempat bersantai di siang hari yang terik. Menyenangkan sekali bukan?
          Sungguh menyenangkan. Aku sangat betah tinggal di sini. Setiap waktu aku bisa melihat Andi si anak yang rajin dan baik. Ia adalah penyejuk mata bagi kedua orang tuanya.
          Aku adalah salah satu bunga yang menghiasi salah satu pojok pekarangan rumah yang asri itu. Oh ya, kenalkan aku bunga melati. Oi, lihat itu! Andi berjalan ke arahku, tersenyum memandangi diriku yang putih-mungil seperti salju, lantas dengan takzim menciumku. Andi selalu membanggakan diriku. Katanya aku adalah puspa bangsa.
          Sengaja benar Andi menyapu halaman pagi-pagi agar saat matahari mulai bersinar cerah dan menyapa dengan sinarnya yang hangat, halaman rumahnya sudah nampak rapi. Dengan begitu tidak akan mengganggu orang-orang yang melintas di depan rumahnya untuk memulai aktivitas. Andi tak pernah malu melakukan pekerjaan itu karena menurutnya itu pekerjaan yang bermanfaat.
          “Assalamu'alaikum. Pagi semuanya,” seru Matahari menyapa ramah. Segera kami merasa hangat. Dengan bantuan sinar matahari, kami juga akan segera memulai aktivitas seperti orang-orang itu. Memasak untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk bumi. Cadangan makanan dan oksigen.
          “Wa'alaikumsalam,” sahut kami serempak.
          Seekor burung hinggap di dahan pohon jambu. Jambu-jambu ranum yang bergantungan memang sangat menggoda binatang pemakan buah. Kemudian datang pula seekor tupai tak mau ketinggalan. Sepagi ini semua sudah sibuk mencari karunia Allah. Barang siapa bermalas-malasan alamat kelaparan.
          Andi melirik kedua binatang yang tengah asyik makan itu, pura-pura tidak tahu. Takut kalau-kalau gerakannya akan membuat terkejut kedua binatang yang lagi asyik-asyiknya makan itu, lalu ketakutan dan pergi. Andi jarang mengusir binatang-binatang yang mampir ke pohon jambunya. Apa salahnya berbagi sedikit rezeki dari Allah, begitu pikirnya.
          Jalanan mulai ramai. Orang-orang akan segera tenggelam dengan urusannya masing-masing. “Andi, sarapan dulu. Nanti kamu terlambat sekolah!” panggil Ibu dari dapur.
          “Iya, Bu. Sebentar lagi.” sahut Andi. Ia segera mempercepat pekerjaannya. Semua beres setelah dua menit kemudian, lalu ia masuk ke dalam rumah untuk menyantap sepiring hidangan istimewa buatan Ibu.
          Tidak beberapa lama kemudian, Andi keluar rumah lagi. Sudah berpakaian seragam sekolah rapi.
          “Pak, Bu, Andi berangkat dulu, ya,” ujarnya sambil mencium tangan Bapak dan Ibu. “Assalamu'alaikum.”
          “Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh,” jawab Bapak dan Ibu.
          Andi memacu sepedanya menuju sekolah dengan bergairah. Ibu mengiringinya dengan membaca keras-keras doa hendak bepergian supaya Andi tidak pernah lupa membaca doa ketika akan keluar dari rumah.
          Aku dan semua makhluk hidup di halaman rumah keluarga ini; bunga, pohon, semut; semuanya mendoakan kebaikan untuk Andi, si anak yang baik dan saleh. (hz)

Selasa, 24 April 2012

Urusan Pinjam-meminjam


Suatu hari saya hendak membuat sebuah barang kerajinan dari kertas. Saya pun mengumpulkan alat dan bahan yang diperlukan untuk membuat kerajinan kertas tersebut. Sebut saja gunting, lem, selotip, penggaris, dan tetek-bengeknya. Semua alat dan bahan itu segera terkumpul karena saya sudah menyiapkannya sejak kemarin. Tetapi ada yang kurang. Selotipnya kemana?
Sudah saya cari-cari, di rak, di laci, bahkan di kamar sebelah, tetap tidak ketemu. Bahkan sampai setengah jam kemudian belum ketemu juga. Saya kelabakan dibuatnya karena waktu saya semakin menipis sementara saya masih punya agenda lain yang mesti diselesaikan. Setengah jam terbuang percuma untuk mencari selotip yang hilang.
Rupanya selotip itu dipinjam tanpa permisi oleh seorang teman dari kamar sebelah—maklum mahasiswa, tinggal bersama dalam satu rumah kontrakan. Hal itu baru kuketahui keesokan harinya. Itu artinya, jadwalku membuat kerajinan kertas hari itu gagal total.
Ada rasa jengkel yang mengganjal hati. Siapa orangnya yang tidak marah coba, agenda yang sudah disusun matang-matang dibikin semrawut oleh masalah kecil tadi. Rasanya ingin marah-marah sendiri, tapi itu hanya akan membuat hati tambah sakit. Hati ini pun mencoba mengikhlaskannya.
Bagiku, tidak masalah barang-barang itu dipinjam, tanpa permisi pun tidak masalah asalkan hanya dipinjam sebentar dan segera dikembalikan ketika sudah selesai memanfaatkan barang yang bersangkutan. Tidak masalah karena itu hanya barang “kecil”. Tapi akan lain halnya jika yang dipinjam adalah barang “wah” atau pun barang “kecil” yang hendak dipinjam untuk waktu relatif lama—lama itu relatif. Untuk urusan ini, mereka harus minta izin dulu pada si pemilik barang.
Bagaimanapun juga, etika meminjam yang benar adalah dengan sepengetahuan pemilik sekaligus mendapat izin darinya.
Adalah suatu kekeliruan apabila meminjam barang—apa pun itu—tanpa seizin si pemilik. Apalagi kalau yang kita pinjam adalah sesuatu yang berkurang jika kita gunakan, selotip tadi misalnya. Beda dengan penggaris yang apabila kita gunakan bakalan tidak berkurang suatu apapun, selotip akan berkurang sebanyak yang kita pakai atau manfaatkan. Meskipun demikian, baik penggaris dan selotip, keduanya akan menimbulkan masalah jika dipinjam tanpa meminta izin terlebih dulu.
Namun, yang sering terjadi, kita suka mengabaikan fakta ini. Kita suka menganggap remeh urusan pinjam-meminjam ini. Tidak pernah terlintas di benak kita bagaimana perasaan si pemilik barang yang telah berbaik hati meminjamkan barangnya kepada si peminjam gelap. Boleh jadi si pemilik betul-betul sedang butuh barang itu, tapi barang itu tidak ada di tempat.
Pun ketika kita meminjam barang dengan sepengetahuan pemiliknya. Mentang-mentang merasa sudah punya izin, kita seenaknya saja menggunakan barang tersebut. Tidak sepenuh hati menjaganya sehingga banyak yang “kurang” ketika barang itu kembali ke tangan pemiliknya. Atau setelah selesai memanfaatkan barang yang kita pinjam, kita tidak bersegera mengembalikannya sehingga berakibat si pemilik harus kasak-kusuk dulu ketika lagi butuh—parahnya saking suka menunda-nunda, kita jadi lupa bahwa pernah meminjam.
Meminjam dengan izin si pemilik pun masih berpotensi menimbulkan masalah, apalagi tanpa izin. Seringkali si pemilik terpaksa mengikhlaskan barang yang dipinjam oleh si peminjam gelap karena tidak ada pilihan lain.   Semoga ini tidak berbuntut panjang ke akhirat. Jangan sampai hal-hal sepele seperti ini menyusahkan kita untuk memasuki surga-Nya kelak. (hz)

Rabu, 18 April 2012

Kisah si Botol Plastik

Aku adalah si botol plastik minuman. Aku bersama teman-temanku disimpan di dalam kulkas di warung Pak Ahmad agar terjaga kesegarannya. Cocok sekali diminum saat matahari bersinar terik seperti siang ini.
Datang Jefri dan Doni baru pulang dari sekolah. Seragam putih-merah mereka basah oleh peluh. Tangan Jefri menarik pintu kulkas dan mengambilku, sementara Doni memilih salah satu temanku. Setelah Jefri dan Doni menyerahkan uang seharga diriku kepada Pak Ahmad, kedua anak itu pun meneruskan langkah menuju rumah. Di tengah jalan, mereka membuka tutup botol masing-masing dan meneguk isinya.
“Uahh, segarnya...” kata Jefri. Doni memasang raut muka setuju dengan pendapat Jefri. Senyum bahagiaku mengembang karena dapat menjalankan fungsiku dengan baik sebagai minuman kemasan.
Tiba-tiba... prak! Jefri melemparkanku begitu saja setelah meminum habis isiku. Membuat aku terkejut.
“Oi, buanglah sampah pada tempatnya!” seru Doni mengingatkan. Tapi Jefri hanya menganggap angin lalu dan terus ringan melangkah tanpa dosa. Doni jengkel dibuatnya. Dia memasukkan botol minumannya yang sudah kosong ke dalam tas untuk dibuang nanti jika ketemu tong sampah.
Mereka menghilang di tikungan jalan. Tidak ada yang bisa kulakukan selain merenungi nasib.
“Kenapa kau ada di sini, rongsokan?” aku dikejutkan oleh suara memaki si bunga mawar. Saking sedihnya, aku baru menyadari kalau di dekat tempatku tergolek ada si bunga mawar yang sedang mekar-rimbun begitu indahnya.
“Maaf mawar, aku tahu ini bukan tempatku. Aku pun tak ingin di sini, tapi....”
“Tidak tahukah kau bahwa kehadiranmu sangat merusak penampilanku. Kecantikanku berkurang gara-gara kau. Tak sepantasnya kau bersanding denganku,” belum selesai kalimatku sudah dipotong oleh si bunga mawar.
“Butuh waktu sekian puluh juta sekian, entahlah, aku baru bisa menguraimu, tahu!” si butiran tanah ikut-ikutan menyerangku. “Tubuhmu akan menyampah bersama yang lainnya dan menimbulkan beragam penyakit.”
“Untung saja kau tidak masuk ke dalamku karena bisa membuat banjir yang merugikan manusia,” kata si parit. Aku makin tertunduk dalam kehabisan kata-kata. Semua menyalahkanku. Wahai manusia, semua menyalahkanku!
Matahari pelan-pelan naik. Bayang-bayang hampir sepanjang badan. Udara tak sepanas tadi. Dari tempatku tergolek, kuperhatikan sekitar. Ternyata banyak juga yang senasib denganku. Kulihat si kaleng biskuit yang merana, si kertas koran lagi menangis, si plastik kerupuk yang meratap....
Tidak lama kemudian adzan Ashar berkumandang. Anak-anak dan orang dewasa berduyun ke masjid. Anak-anak perempuan bermukena yang melewati kami berseru kagum melihat keindahan si bunga mawar. Aku mengucap syukur karena di antara sekian banyak orang yang lupa, masih ada juga yang mengingat-Mu, pemilik semesta alam dan yang mengatur keseimbangannya. Lantas aku berdoa semoga ada yang tergerak memungutku.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali. Aku merasa ada yang mengangkat tubuhku. Aku dimasukkan ke dalam karung, berbaur dengan sampah-sampah sejenisku. Tubuhku terguncang-guncang di dalam karung sepanjang pagi itu.
Rupanya aku diambil oleh Bu Siti si perajin barang bekas. Tubuhku dicuci bersih, di jemur, lalu dipotong dengan pola-pola tertentu. Dan malamnya, entah apa lagi yang dilakukan Bu Siti terhadap diriku. Aku terlanjur mengantuk dan tertidur. Kelelahan karena sepagian tadi terguncang-guncang di dalam karung, tindih-menindih dengan yang lainnya, dan lain-lainnya yang diperlakukan Bu Siti terhadapku.
Esoknya ketika bangun tidur, aku pun terkejut. Sosokku bukan lagi botol plastik yang dianggap sampah, tetapi sudah berubah menjadi rangkaian bunga cantik. Anak-anak Bu Siti memuji-muji keindahanku. Aku akan segera di antar ke toko untuk dijual. “Aku tidak kalah cantik dari si bunga mawar,” gumamku senang.

Sekarang aku tidak perlu sedih lagi. (hz)